Buku Tamu

Keramat Aog Simbuku


KERAMAT AOG SIMBUKU Di Modajag (Modayag) 


      Seberang Kali Moajat (Moayat) Pada suatu saat, Datu Binangkang yang disusung dari pantai selatan Bolaang Mongondow oleh Bogani-Bogani / Pengawal seperti :
  1. Warwatoi = Maruawatoi
  2. Alugarang = Alugarang
  3. Mogedag = Mogedag
  4. Dugian = Dugian
  5. Bantong = Bantong
  6. Jotang = Jotang (yotang)
  7. Korompojan = Korompojaw (korompoyan)
Kemudian menuju kesuatu tempat dengan menggunakan usungan. Tempat usungan dari Datu Binangkang dibawah oleh 4 Bogani dan 3 Bogani lainnya yang membawa Aog Simbuku sebagai persiapan. Tempat usungan dibuat dari Aog Simbuku yang waktu menyeberang kali Moajat (Moayat) karena saat itu banjir maka satu tempat usungan patah, kemudian setelah digunung yang pertama 1 lagi yang patah, lalu tiba lagi di gunung kedua 1 lagi juga patah.
Sehingga 3 buku/bulu (Aog Simbuku) yang dibawa oleh bogani-bogani itu patah. Setalah 3 Aog Simbuku itu diganti yang patah dan sebelum berangkat Datu Binangkang mengambil yang patah itu lalu ditanam diatas Gunung sebagai berikut. Gambar Gunung yang bernama AOG SIMBUKU (MATAGUNA-GUMA'): 


Gunung Mata Guna atau Mata Guma'. Mata Guna = Tempat perkumpulan semua pengetahuan. Masa Guma = Mata = Guma' = Sarong Peda (sarung pedang). Pada saat itu Datu Binangkang istirahat 3 jam. Sejak menaman Aog Simbuku, Datu Binangkang berkata : “Ompu' aog simbuku, iko in pinomia tanda ponandaan, kobiag bai kiadik bo ki ompuku mogama' bo Monginaa turun temurun. Ompu aog simbuku”. 


Referensi : Dikutip dari Z.P. Mokoagow. (djam 19:00 s/d 22:00 Sabtu-Minggu 29-05-1971)
Buku Himpunan Catatan Pra-Sejarah Totabuan. Sinindian.

Keris Solang 7 Bogani


Keris Pusaka dan “LONGKAB”


Keris tersebut diserahkan oleh orang-orang tua di Djawa pada saat itu yang menerima kebetulan berada di djawa. Keris tersebut adalah asli. Keasliannya ialah menurut historis adalah dipakai oleh  orang-orang tua kita (Bogani-Bogani) pada saat mereka berperang, pada saat itu atau istilah “SOLANG” dan dipegang oleh Bogani “KOROMPEAN” diantara 7 Bogani yaitu :
  1. Bogani "Darwatoi"  (Marwatoi)
  2. Bogani "Alugarang" (Mungarang)
  3. Bogani "Mogedag" (Talenga)
  4. Bogani "Durian" (Dugian)
  5. Bogani "Bantong"
  6. Bogani "Ojosang" (Ojotang)
  7. Bogani "Korompojaw" (Korompean).
Keris ini memang “Panas” bekas alat perang pada saat itu. Karena “BENGKO” bekas "Pinosolang in Bogani-Bogani. Pinonampang Pinonisi Kontosabuan bo dia Kosaawa, ni mogurus, mogonow, monaindi, eda inta pinoposarimaan ni inantagnja sampe mokobojo-bojo nadoonan tua longkab pusaka mogogiyang dia don inonowan bosinompia. Rongkab tanaa totok pabi pusaka muna karena naapa bekas pinobilorian koan Bogani Gorontalon inta ki palobaol".

"Gama ino bengko –ninitan in tosimbanoi Onownja : Bango malunow sinib ujung bolonoban bonuan. 7 manduru, 7 bulangawang, 7 nokoid in korimbonga, 7 nokoid (tubu in tukui). Bonoeon kom bango bo ponapu kon gumanja, bausua taboion in mogusalong ni tudu karamat Bumbungon, bo ni dingogan moluko moalus."

Referensi :
S. Pomayaan. 17 Agustus 1972. (Z.P. Mokoagow. Buku Himpunan Catatan Pra-Sejarah Totabuan. Sinindian)

Posad dan Mododuluan


Sistem Gotong Royong


Bentuk gotong-royong / tolong-monolong dalam masyarakat Bolaang-Mongondow yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu :
  1. Pogogutat dan Potolu adi’
  2. Tonggolipu’
  3. Posad (mokidulu) dan Mododuluan (desa Abak)
Sejak dahulu tujuan kehidupan bergotong-royong ini tetap sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda.1) Seperti :

  1. Pogogutat dan Potolu adi’
    Pogogutat berasal dari kata utat yang berarti : saudara (kandung, sepupu).Potolu adi’ asal kata : Tolu adi’ (motolu adi’) yang berarti : ayah, ibu dan anak-anak (tolu = tiga, adi’= anak). Potolu adi’ : lebih bersifat kekeluargaan. Contoh pogogutat: bila ada keluarga yang hedak mengadakan pesta pernikahan anak, maka sesudah didapatkan kesepakatan tentang waktu pelaksanaanya, disampaikanlah hasrat tersebut kepada sanak keluarga, bahkan kepada seluruh anggota masyarakat dalam satu desa. Dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan pernikahan, berdatanganlah kaum keluarga, tetangga, warga desa, dibawah koordinasi pemerintah, guhanga atau tua-tua adat, ketua rukun dan lain-lain membantu kelancaran pelaksanaan pesta. Kaum pria membawa bahan seperti : bambu atap rumbia, tali rotan, tali ijuk, tiang pancang bercabang dan bahan-bahan lain untuk mendirikan bangsal. Ada yang membawa gerobak berisi kayu api, tempurung, sabut kelapa dan lain-lain untuk bahan pemasak. Pada saatnya mendekati hari pernikahan, para pemuda remaja pria dan wanita datang membantu meminjam alat-alat masak, alat makan, perlengkapan meja makan, menghias bangsal, puadai, dan lain-lain. Ada yang membantu persiapan di dapur, mengolah rempah-rempah dan lain-lain. Suasana diliputi kegembiraan, tawa dan gelak terdengar. Pada saat pelaksanaan pesta nikah, para remaja dan pemuda itu membantu pelayanan kepada para tamu undangan. Kaum wanita pada sore hari menjelang malam berdatangan membawa bahan : beras, ayam, minyak kelapa, minyak tanah, rempah-rempah, gula putih, gula merah dan lain sebagainya keperluan dapur. Semua bahan yang dibawa baik oleh kaum pria ataupun oleh kaum wanita, adalah berupa sumbangan ikhlas, tanpa menuntut imbalan karena rasa kekeluargaan yang besar dan toleransi yang tinggi (unsur persatuan dan kesatuan demi kesjahteraan bersama).

  2. Tonggolipu
    ’Tonggolipu’ : asal kata lipu’ yang berarti : desa, kampung, tempat kediaman. Bila ada rencana pembangunan dalam desa (sekolah, rumah ibadah, jalan, jembatan, rumah tempat tinggal dan lain-lain), maka seluruh anggota masyarakat secara serentak mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dimaksud tanpa paksaan, tapi atas kesadaran sendiri. Kaum wanita datang membawa makanan dan minuman. Dalam kegiatan seperti itu bahan dan ramuan sudah disediakan terlebih dahulu seperti bahan bangunan dan lain lain. Bila ada anggota masyarakat yang meninggal, maka para tetangga serentak berkumpul membuat bangsal dan menyediakan tempat duduk dan membantu pekerjaan pemakaman sampai selesai. Dahulu adalah merupakan kebiasaan, keluarga datang berkunjung ke rumah duka untuk menghibur dengan mengadakan permainan tertentu seperti : monondatu, mokaotan, mokensi, monangki’, dan lain-lain. Kegiatan seperti itu diadakan mulai 7 sampai 14 malam, selama tongguluan (tempat tidur berhias) masih belum dikeluarkan. Kini acara-acara seperti itu diisi dengan kegiatan-kegiatan agama.

  3. Posad (mokidulu) dan Mododuluan (desa Abak)
    Posad atau mokidulu : Posad berarti berarti saling membantu. Umumnya posad ini sudah berbentuk organisasi. Koordinator membentuk organisasi dengan sejumlah anggota sesuai keperluan. Anggota posad mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dalam arti saling berbalasan. Bekerja membersihkan kebun bersama-sama dengan ketentuan, setiap anggota kelompok akan mendapat giliran kebunnya dibersihkan. Dalam posad biasanya ada sanksi, yaitu anggota yang tidak aktif akan dikeluarkan dari keanggotaan, beberapa ketentuan sesuai kesepakatan, misalnya : setiap anggota posad dalam melaksanakan pekerjaan ada yang membawa bekal sendiri, tapi agak berbeda dengan mokidulu (minta bantuan), seseorang minta bantuan tenaga dari sejumlah teman untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan, ada yang bekerja secara sukarela, ada pula yang mengharapkan untuk dibalas.

Sedangkan dalam sistem Posad terdapat perbedaan dengan sistem Mododuluan (desa Abak). Posad apabila telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan si pengambil inisiatif merasa terikat oleh kewajiban untuk mengembalikan jasa yang diperolehnya kepada para pembantunya. Sedangkan Mododuluan setelah menyelesaikan suatu pekerjaan, para pembantu itu langsung diberi balas jasa (misalnya menyediakan makanan), sehingga si pengambil inisiatif tidak merasa terikat oleh suatu kewajiban para pembantunya tadi, karena tolong menolong berdasarkan sistem Mododuluan tidak mempunyai suatu kelompok kerja yang tetap dan tidak terikat oleh suatu perjanjian tertentu.2)

1). Seri Kebudayaan Bolaang-Mongondow (tanpa pengarang dan tahun penerbit).
2). Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta. 1983.







Putri Pingkan Dan Meninggalnya Matindas


Sejarah tentang “Pingkan Dan Matindas” 


 Pingkan adalah seorang diantara Putri yang tercantik didaerah wilayah sekitar Gunung Kelabat (Wilayah Tonsea) demikian pulalah Mantindas adalah seorang jejaka yang cukup cantik berwibawa dan jujur serta rajin. Gotong-royong atau mapalus pada saat itu memang sudah ada didaerah Minahasa bahkan istilah adat kesenian (maengket sudah ada). 

 Kedua putri dan putra tercantik ini kebetulan pula berdekatan kebun, dimana mereka bergabung pada mapalus pemuda-pemudi. Pada suatu ketika mereka akan berkumpul disuatu tempat bernama “Makalisung” yang sedianya pertemuan itu berlaku sebelum tengah hari, tapi karena hujan terus menerus maka datanglah banjir besar dari hulu danau Tondano dimana kedua insan itu harus menyeberang. Oleh Matindas telah diusahakan daya untuk menyeberang sungai yang sedang banjir itu. Maka Matindas mencari daerah yang agak sempit dan membuat titian dari 2 ujung buluh air yang panjang sebagai alat untuk mereka menyeberang. Menyeberang pertama adalah putri Pingkan sedangkan matindas pada saat itu mengadakan persiapan untuk menyusul menyeberang sungai yang sedang banjir. Tetapi apakah hendak dikata sewaktu Pingkan sedang berada diatas buluh sebagai titian itu buluh tempat memiti patah dan putri Pingkan hanyut dibawah banjir yang sangat derasnya. Melihat keadaan itu maka Matindas tanpa memperhitungkan akibatnya terus melompat kedalam air dan mengejar pada putri Pingkan diatas banjir yang sedang mengganas itu, dan dengan Kuasa Tuhan para saat itu Pingkan dapat diselamatkan dimuka maut dan keduanya dengan segala selamat dapat berhasil tiba diseberang. 

 Dengan dasar itulah maka putri Pingkan Lumelenoan menyampaikan kata hati sebagai balas jasa pada Matindas, sbb : "Tanpa Matindas Pingkan akan mati dan mati lemas, dan kata-kata hati Pingkan itulah sebagai pasrah pembelaan dimuka maut oleh Matindas pada Pingkan. Aku bersedia untuk kelak menjadi buah hatimu". Matindas pada saat itu tidak dapat menjawab sepata-katapun hanya disambut dengan senyuman dan disertai air mata yang bersamaan dari kedua makhluk Tuhan pada saat itu. Dan sebagai suatu cendera mata maka putri Pingkan telah menghadiakan satu buah ukiran / patung dari kayu kemuning yang benar-benar mirip dengan muka dari Pingkan. Dengan kata-kata dari Pingkan "kemanalah Matindas bila ingat terhadapku pandangilah dan ciumlah patungku ini". Pingkan pada saat itu telah berpisah dengan Matindas karena Matindas mengembara di Minahasa Utara ke Selatan (Minahasa Tengah) untuk bersama-sama mempertahankan daerah pantai Utara yang diserang oleh Laskar Kerajaan Bolaang Mongondow. Maka dalam pertempuran yang sangat itu jatuhlah patung dari Putri Pingkan itu ketangan Laskar Kerajaan Mongondow. Oleh laskar yang kembali kedaerah Mongondow selain menang dalam pertempuran telah mempersembahkan sebuah patung yang sangat cantik kepada Raja dan oleh Panglima Perang Mongondow. Setelah Raja mengirimi Laskarnya untuk mencari dimana sebenarnya perempuan yang mirip dengan patung tersebut diseluruh kawasan daerah Minahasa maka akhirnya diketemukan yang sama dengan patung itu di wilayah desa Tiniawangko pada saat itu Pingkan sedang membawah pisang mas. Diadakanlah penyelidikan Putri itu asalnya dari mana maka ternyata dia adalah gadis Tonsea yang bernama Pingkan kekasih Matindas bertempat dibawah Gunung Klabat didaerah / desa bernama Makalisung. Beberapa Perahu laskar dari Mongondow yang dikirim untuk merebut daerah pertahanan wilayah Lembeh dan Bangka dan akhirnya dibawah pimpinan Panglima Mogogunoi menyerang kema dibawah pimpinan panglima Minahasa Matindas setelah beberapa kali bertempur Matindas gugur, tanpa kubur dan Mogogunoi lah yang menguasai wilayahnya itu dan putri Pingkan berada ditangan Mogogunoi. 

Referensi : Dikutip dari (Z.P. Mokoagow. Buku Himpunan Catatan Pra-Sejarah Totabuan. Sinindian. tanpa tahun, diperkirakan ± 1972-1973).

Limbuong Pusaka


Asal Kata MONGONDOW “ MOMONDOW ”


Jauh sebelum zaman besi yang masih dapat dikatakan Daerah Totabuan ini masih primitif, maka pada saat itu memang sudah ada pimpinan penduduk yang dipandang sebagai Radja yang bertanggung jawab terhadap wilayah-wilayah atau daaerah dimana Bogani-Bogani itu berada.

Pada suatu saat yang dipandang sebagai Radja yang bernama "Punu Modeong" (Punu = Radja sedangkan Modeong adalah nama) telah memerintahkan kepada 2 orang Bogani, 1 Bogani bernama Bulu berasal dari dataran Lolayan sedangkan Bogani Lumengku' berasal dari Tudu in Sia' (Gunung Sia) untuk mencari ikan (berburu babi) untuk makanan Radja.

Bogani ki Bulu ini sudah mendapatkan satu ekor babi yang agak kecil, sedangkan Bogani ki Lumengku pada saat itu belum juga mendapatkan babi, maka untuk itu ki Bulu memerintahkan pada ki Lumengku untuk mencari air guna dipakai pada pembantaian/pencuci daging babi tersebut.

Bogani Ki Lumengku ini kesana-kemari mencari air tapi juga tidak ditemukan mata air. Lalu ia Nomondow dalam bahasa Totabuan tidak ada air.

Akhirnya Bogani ki Bulu ini mengambil tongkatnya lalu menikamkan ketanah dan karena berkatnya " I Togu Inta Kitogi Kahendak ", berbunyilah tongkat itu RUUUKK pertanda bahwa ada mata air dimana tongkat itu ditikamkannya.

Kemudian Bogani Ki Bulu berkata pada Bogani Ki Lumengku, tidak usahlah engkau Momondow dan mari gali tempat ini, sebab disini ada mata air. Mata air itulah yang menjadi Sumur Pusaka yang terletak di desa yang sekarang ini Desa Mongondow yang telah dicari dan digali dibawa penyelidikan oleh pejabat BKDH (Bupati Kepala Daerah Bolaang-Mongondow Bpk. Oemaroeddin N. Mokoagow pada tanggal 27 Desember 1972 bersama-sama dengan Ketua DPRD Kabupaten Bpk. Ismail Tolat, anggota DPRD Kab. Bpk. Zakaria P. Mokoagow, serta ajudan BKDH Bpk. F. Manoppo, BA ).

Kembali kita pada zejarah penggalian sumur tadi oleh Bagani Ki Bulu dan Bogani Ki Lumengku. Lalu mereka membantai babi tadi kemudian dibuatlah satu tempat Pufu  (tempat pemanggangan) atau Totaboian Mointok dan disanalah tempat mereka membagi hasil perburuannya. Mereka juga membuat Totaboian Moloben ditempat yang sekarang di sebut Desa Motoboi Besar. Sedangkan Totaboian Mointok ialah Desa Motoboi Kecil.

Tempat wilayah perburuan ialah wilayah selatan batas Desa Motoboi Kecil ke Desa Motoboi Besar adalah tempat berburuhnya Bogani Ki Bulu sedangkan dari Desa Motoboi Kecil ke Desa Motoboi Besar ke utara adalah tempat berburunya Bogani Ki Lumengku.

Demikianlah sekedar sejarah ringkas mengenai "Limbuong Pusaka " yang terletak di Desa Mongondow yang pernah Kinunsi' in Singo', In Manuk karena Ai Tomambai Tonga' Aindon Binuka in Tonawat in Totabuan; ialah Pejabat BKDH BM (Bupati Kepala Daerah Bolaang-Mongondow) Bpk. Oemaroeddin N. Mokoagow.

Referensi :
Z.P. Mokoagow (Mendapat Gelar Tonawat). Buku Himpunan Catatan Pra-Sejarah Totabuan.(tanpa tahun , perkiraan sekitaran 1972 sesuai umur dan tahun kejadian).

Etnis dan Bahasa Asli di Bolaang-Mongondow



Etnis dan Bahasa Asli  di Bolaang-Mongondow 


Memperhatikan keadaan alam Bolaang-Mongondow yang tempatnya bergunung-gunung dan dibalik gunung-gunung ada lembah dan dataran yang luas, turut pula mempengaruhi masyarakat dalam penyebaran serta bahasa tutur sehari-harinya.1)

Etnis Bolaang Mongondow menurut (catatan  bapak Z. A. Lantong, Sekretaris Aliansi Masyarakat Bolaang mongondow yang pernah mengikuti Kongres Masyarakat adat se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 12 hinga 19 maret  1999) 2)  terdiri dari 4 etnis dan 2 sub-etnis :
  • Etnis Mongondow dengan dialek Mongondow dipakai di daerah Kotamobagu, Modayag, Kotabunan, Passi, Lolayan, Dumoga, Pinolosian (sebagian),Sang Tombolang (sebagian), Bolaang (sebagian), dan Poigar. 
  • Etnis Bintauna dengan dialek Bintauna dipakai di Bintauna.
  • Etnis Bolaang Uki dengan dialek Bolango dipakai di Molibagu.
  • Etnis Kaidipang Besar (penyatuan dua Kerajaan Bolang-Itang dan Kerajaan Kaidipang) dengan dialek Kaidipang dipakai di Kaidipang hampir sama dengan dialek Bolaang Itang dipakai di Bolang-Itang. 

Setelah diteliti masih ada 2 sub-etnis kecil di Bolaang Mongondow yaitu :
  • Sub-Etnis Lolak dengan dialek Lolak dipakai di Lolak dan Sang Tombolang (sebagian).

Sub-Etnis Bantik Sumoit dengan dialek Bantik

Bahasa Mongondow Asli dipergunakan untuk penyampaian bahasa adat, dengan mempergunakan kiasan, perumpamaan, sindirannya tolibang, Aimbu (upacara pengobatan orang sakit), tangki-tangkian (teka-teki) dan sa-la-mat (tanda selamat).

Bahasa Mongondow sehari-hari sebagai pengantar komunikasi masyarakat banyak menyerap bahasa asing, seperti :

Ba‘l = Bola
Masina = Mesin
Bangko = Bangku
Gelas = Gelas
Kadera = Kursi
Geragaji = Gergaji

 
Ada juga penyerapan dari bahasa didaerah-daerah perbatasan dan bahasa dari daerah-daerah pendatang, seperti :
  • Bahasa Gorontalo dalam bahasa Kaidipang / Mokapok, Bolango (Bolang-Uki dan Bolang-Itang). 
  • Bahasa Minahasa / Philipina dalam (sebagian Dumoga dan Passi), Bintauna dan Bolaang-Mongondow. 
  • Bahasa Bantik (sebagian Bolaang).
  • Bahasa Sangir beberapa desa di Kaidipang, Bolang-Itang dan Sang Tombolang.


1) Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta. 1983.
2) Bernard Ginupit. Makalah: Adat Istiadat Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah Kini Dan Mendatang.
Kotamobagu. 12 Desember 2005.

Kepercayaan (Kitegi) dan Upacara (Momolapag) Leluhur Bolaang-Mongondow


 Kepercayaan Leluhur Dan Upacara-Upacara Adat Kuno
di  Bolaang Mongondow


            Sebelum masuknya agama Islam, rakyat Bolaang Mongondow memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan gaib, yang banyak dihubungi dengan adat dan tradisi misalnya :
  • Mamelenga ialah mendengar pentunjuk-petunjuk kekuatan gaib malalui bunyi burung hantu (menikulu) untuk mengetahui hal kalah-menangnya dalam peperangan, sukses tidaknya suatu rencana naik rumah baru, dalam mengadakan/perjalanan, mendirikan bangunan, merombak hutan.

  • Mendeangongou ialah menjengkal sesuatu benda seperti sepotong bambu berukuran sejengkal untuk obat yang akan dipergunakan dalam menyembuhkan sesuatu penyakit. Caranya pada waktu menjengkal-jengkal bambu tersebut kemudian jengkalan sudah lebih dari ukuran sebenarnya sambil menyebut obat yand dipergunakan maka obat itulah yang harus diambil untuk mengeboti penyakit tersebut.

  • Metayek ialah mengobati seseorang penderita penyakit yang dilaksanakan dengan tari-tarian sambil diiringi nyanyian pujaan kepada dewa-dewa leluhur yang dianggap sakti, dimana sipenari telah dalam keadaan tidak sadar (kerasukan). Metayek atau tayok adalah merupakan jenis tari yang asli di daerah Bolaang Mongondow. Menurut penelitian tanggal 19 September s.d 28 September 1977, tarian Tayok ini hanya terdapat di desa Bilalang.1)
    Dalam tarian ini penari (Bolian) memang dalam keadaan kerasukan jin (roh) yang diperlukan untuk meminta sesuatu pertolongan atau Ilapidan dan roh ini dapat menentukan obat / ramuan obat yang diperlukan sehingga dapat menyembuhkan penyakit.

Kepercayaan Leluhur kepada adanya kekuatan gaib antara lain :
  • Komansilan, yaitu semacam jimat yang dipakai oleh laki-laki sebagai penangkal penyakit.

  • Dikolom, yaitu semacam jimat yang dipakai sebagai penjaga diri dan tahan terhadap black magic (sihir) yang datang dari luar.

  • Sigi, yaitu semacam kuil tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa ). Didalam sigi dapat disimpan piring tua atau benda antik lainnya yang berasal dari para leluhur. Pada waktu Monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat turut serta, dengan mengorbankan babi, kambing betina dan ayam yang darahnya dipercikkan kepada tangga sigi. Sigi juga merupakan tempat penghapusan dosa atau kesalahan bagi pesakitan, bagi pelanggar adat tertentu, sebagai penghapus aib. Dapatlah dikatakan bahwa sigi merupakan suatu lukisan kesatuan desa. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, ada keluarga yang mengangkat orang-orang tua yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara dalam desa, mengatur pemindahan hak, mengatur pertunangan, perkawinan dan juga sebagai penasehat dalam tugas-tugas pemerintahan yang disebut: Guhanga. Bahkan kepala desa (sangadi, bobato, kimalaha) dalam memutuskan sesuatu terlebih dahulu minta petunjuk dan pendapat dari para guhanga.2)
 
Upacara-Upacara Adat Kuno di Bolaang-Mongondow

        Pada zaman dahulu (sebelum masuknya agama Islam) terdapat upacara-upacara adat kuno, seperti :
  • Tengkiura-menile (Tengkiuna-menilen)
    Upacara yang dilakukan pada waktu akan mengadakan perombakan hutan dengan jalan mempersembahkan sirih pinang kepada dewa-dewa leluhur yang mula-mula adalah pemilik hutan tersebut (penjaga hutan).

  • Menelepak
    Menelepak asal kata pelapag ialah tempat yang sengaja dibuat sebagai tempat yang meletakan bahan-bahan penganan/sajian bail dari sagu, dari sagu itu kemudian diisi dalam bulu, nasi kuning ayam, telurnya sebagai persembahan kepada dewa-dewa leluhur yang dianggap sakti (Kitegi Duta = Ketegi Bontung), hal semacam ini bisa dilakukan oleh seseorang di kebun-kebun pada waktu penanaman, dengan maksud memintannya agar tanamannya tidak rusak oleh binatang dan memperoleh hasil yang memuaskan. Akan tetapi setalah masuknya agama Islam ke daerah Bolaang Mongondow upacara-upacara tersebut diatas berangsur-angsur mulai hilang.

  • Memajakaan-mepakean
    Memberikan makan kepada dewa-dewa yang dianggap sakti yang telah memberikan penghasilan- penghasilan sesuai dengan apa yang diharapkan sejak penanaman dan hal ini dilakukan sesudah penanaman.

  • Monibi
    Monibi yaitu upacara pengobatan kampung yang diadakan sekali dalam setahun. Seluruh anggota masyarakat turut terlibat dalamnya. Upacara monibi ini diadakan untuk menolak berbagai macam penyakit mewabah, atau menghindarkan bencana yang bakal menimpa penduduk. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya).

  • Monayuk
    Monayuk yaitu upacara pengobatan yang mulai diadakan sejak kelahiran Mokodoludut yang sakit- sakitan sejak kecil.

  • Mongalang
    Mongalang yaitu upacara pada saat kematian raja atau keluarganya. Pada saat seperti itu dilagukan dete-dete (lagu duka). 

  • Momolapag
    Momolapag yaitu upacara penyembahan kepada roh leluhur dengan menyediakan sajian bagi yang disembah.
Info: Untuk momolapag telah dikembangkan menjadi sebuah tarian untuk pengobatan karena pengaruh gaib yang tak bisa di obati secara medis.3)
       Contoh Tarian Momolapag :




Referensi :
  1. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta. 1983.
  2. ...Seri Kebudayaan Bolaang-Mongondow (Tanpa pengarang dan tahun penerbit).
  3. Dikumentasi Pribadi : Pentas Seni dan Budaya dalam rangka HUT Prov.SULUT. Kayuwatu. 26 September 2012.

Menampal TOTABUAN


"TOTABUAN"


        Kehidupan orang-orang Mongondow pada zaman dahulu kala hidup dengan cara berkelompok. Tempat yang didiami oleh tiap-tiap kelompok disebut wilayah lolaigan. Lolaigan asal kata laig artinya pondok kecil, yang dibuat dari ramuan-ramuan kayu yang tidak kuat dan beratapkan daun enau atau daun rotan. 

     Di wilayah kediaman lolaigan makin lama makin bertambah banyak anggota keluarga sehingga hidup masyarakat kelompok kecil tadi berubah menjadi kumpulan keluarga kelompok yang sudah lebih besar dan selanjutnya terjadilah wilayah penuaan seperti dusun atau disebut masyarakat pedukuan dengan salah seorang Bogani (pemuka keluarga diantara kelompok-kelompok) yang diangkat dan di berikan kepercayaan oleh seluruh anggota masyarakat menjadi pimpinan serta dapat melindungi ketertiban keselamatan umum. 

      Dalam masyarakat pedukuan, anggota keluarga makin hari makin bertambah banyak, sehingga hubungan  antara keluarga kelompok makin baik dan erat hubungannya dalam pergaulan masyarakat. Lebih banyak kumpulan gabuangan kelompok masyarakat, makin luas hubungan dan peningkatan cara hidup mereka, kemudian berubah menjadi sebuah kampung (perkampungan). Secara ideal dewasa ini satu rumah di Bolaang-Mongondow didiami oleh satu keluarga batih, yang terdiri dari suami-istri, anak-anak dan kadang-kadang ditambah dengan beberapa kerabat lainnya, ialah seorang ibu atau ayah yang sudah tua, menantu atau cucu-cucu, saudara-saudara istri perempuan dengan suaminya. Seperti masyarakat Minang orang Mongondow mendapat nama dari ayahnya dan dengan demikian tampak adanya golongan-golongan atau kolektif-kolektif dengan nama keluarga yang sama, yang merupakan kelompok kerabatan atau klen patrilineal kecil dan kolektifitas serupa itu oleh penduduk disebut : tongolaki artinya satu dapur. 

     Tongabuan adalah keluarga besar dimana ibu-bapak, anak-anak yang sudah kawin, kakek-kakek serta keluarga-keluarga lainnya tinggal dalam satu rumah besar. Dalam aktifitas sehari-hari saling terikat oleh satu sistem pengerahan kerja, misalnya mengerjakan tanah pertanian bersama-sama, pembukaan hutan baru untuk berladang dll. 1) 

     Sekitar abad 20 Bolaang Mongondow terdiri dari beberapa distrik, yaitu : Mongondow (Passi dan Lolayan), serta onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau menuju ke pesisir pantai memasak gara (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam, juga mereka membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan, yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Karena sejak pemerintahan raja Tadohe penduduk sudah mengenal padi, jagung, kelapa, yang dibawa oleh bangsa Spanyol, maka penduduk pedalaman yang berkebun di pesisir itu juga menanam kelapa yang lebih banyak hasilnya dibandingkan dengan bila hanya ditanam di dataran tinggi. Bila mereka telah betah tinggal di pesisir, maka keluarga dijemput lalu menetap di Totabuan. Semakin lama semakin banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya ke tempat baru di Totabuan, sehingga merekapun mulai membentuk pedukuan. Sebab itu maka di tempat baru biasanya tidak terdapat sigi sebagai perlambang kesatuan desa seperti yang ada di desa-desa pedalaman. Beberapa desa di dataran tinggi (pedalaman Mongondow) yang memiliki Totabuan di pesisir 2) antara lain :
  1. Poyowa besar mempunyai Totabuan di Nuangan 
  2. Kobo kecil mempunyai Totabuan di Nuangan 
  3. Kobo besar mempunyai Totabuan di Molobog 
  4. Kopandakan mempunyai Totabuan di Buyat 
  5. Otam mempunyai Totabuan di Nonapan 
  6. Moyag mempunyai Totabuan di Motongkad 
  7. Pobundayan mempunyai Totabuan di Motandoi 
  8. Molinow mempunyai Totabuan di Tolog dan Kotabunan 
  9. Passi mempunyai Totabuan di Poigar 
  10. Biga mempunyai Totabuan di Tombolikat 
  11. Motoboi Besar mempunyai Totabuan di Alot, Oyuod, Matabulu 
  12. Tabang mempunyai Totabuan di Tobayagan 
  13. Poyowa Kecil mempunyai Totabuan di Pinolosian  
  14. Mongondow mempunyai Totabuan di Ayong, sampaka, Babo.
Referensi :
  • Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
    (Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta. 1983). 
  • Beschrijving van het adatrecht in Bolaang Mongondow (R.P.Notosoesanto).

4 Etnis dan 2 Sub-Etnis di Bolaang Mongondow


ADAT ISTIADAT BOLAANG MONGONDOW
DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
KINI DAN MENDATANG 


Diambil Dari Makalah :
BERNARD GINUPIT. ADAT ISTIADAT DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH KINI DAN MENDATANG. KOTAMOBAGU.12 DESEMBER 2005. 


A. PENDAHULUAN 

          Bhineka Tunggal Ika yang berarti beraneka ragam tapi satu, adalah merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari sekian banyak suku bangsa dengan aneka ragam latar belakang kebudayaan, agama dan sejarah. Luasnya wilayah terdiri dari ribuan pulau (± 13.677 menurut statistik). Penduduknya terdiri dari banyak suku bangsa, memiliki lebih dari 300 dialek (bahasa daerah), serta budaya dan agama yang berbeda-beda pula. Keanekaragaman budaya ini telah diketahui semenjak adanya penelitian sosial budaya yang diadakan oleh para sarjana pada awal abad 19. 

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 32 dinyatakan bahwa “Pemerintahan Memajukan Kebudayaan Nasional”. Yang dimaksud dengan kebudayaan nasional disini adalah : kebudayaan bangsa yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya, kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah diseluruh Indonesia. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. 

Ada banyak pengertian tentang kebudayaan yang telah didefinisikan oleh para ahli, cendekiawan dan kebudayawan yang sempat kami petik dari beberapa sumber, antara lain: 
  • Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia belajar (Rumusan denifinisi tentang kebudayaan oleh Koentjaranigrat 1979, hal. 193). 
  • Kebudayaan adalah suatu sistem yang menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian pada ujaran, laku ritual dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan yang lain (Harsja W. Bachtiar 1985).
  • Kebudayaan ialah kompleks kesuruhan yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan manusia sebagai anggota masyarakat (Edward Burnnet Taylor : Battle 1969).
  • Kebudayaan ialah hasil buah budi manusia dalam perjuangannya menaklukan alam dan zaman (Ki Hajar Dewantoro : Sayuti 1974
  • Kebudayaan pada hakekatnya adalah sistem nilai dan ide yang dihayati oleh kelompok manusia pada suatu lingkungan hidup tertentu dan pada suatu kurun waktu tertentu (Daud Joesoef 1982) . 
  • Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta : Bhudayah, yaitu bentuk jamak dari kata budi atau akal. Dengan demikian maka kebudayaan dapat diartikan “Hal-hal yang bersangkutan dengan akal” . (Koentjaraningrat 1986).

Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia merupakan buah ”Pergumulan Kreatif” dari penduduk setempat dan telah menjadi warisan untuk genarasi sekarang. Oleh sebab itu, warisan yang berwujud sebagai aturan, adat-istiadat, sistem nilai, dianggap sebagai memiliki makna yang amat penting untuk mengatur diri dalam segalah aspek kehidupan untuk mewujudkan tatanan hidup yang beradab dan berbudaya. Akar tatanan hidup masa lampau masih di pertahankan hingga kini, walaupun harus diakui bahwa sebagian dari padanya telah dan sedang berubah. Kemajuan teknologi yang merupakan hasil pergumbulan kreatif manusia yang tiada henti, membuka kemungkinan akan adanya bagian-bagian budaya yang mengalami perubahan.


B. MENGENAL BEBERAPA KOMUNITAS DI SULAWESI UTARA

      Propinsi Sulawsi Utara terletak dijazirah utara pulau Sulewesi. Penduduknya tertdiri dari tiga etnis (suku bangsa), yaitu : Sangir talaud, Minahasa dan Bolaang Mongondow. Ketiga etnis tersebut masih terdiri dari beberapa sub-entis. Setiap sub-etnis dapat dikategorikan sabagai satu komunitas. Pengertian komunitas disini adalah : suatu wilayah yang mayoritas penduduknya berasal daru asal-usul leluhur yang sama, memilki ciri-ciri budaya dan adat-istiadat secara turun-temurun dan pada umumnya memilki bahasa yang sama, yang berbeda dengan bahasa komunitas yang berdekatan. Kesatuan wilayah, Kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas dan loyalitas terhadap komunitas sendiri,  merupakan ciri-ciri suatu komunitas. Masyarakat adat suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.

Menurut catatan bapak Z. A. Lantong, Sekretaris Aliansi Masyarakat Bolaang mongondow yang pernah mengikuti Kongres Masyarakat adat se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 12 hinga 19 maret  1999, bahwa etnis Sangir Talaud terdiri dari 5 sub-etnis besar yaitu : Tagulandang, Siau, Sangihe, Biaro dan Talaud. Etnis Minahasa terdiri dari 8 sub-etnis, yang disebut pakasaan, yaitu : Tombulu, Tonsea, Tountemboan, Bantik, Pasan, Ponosakan, Toundano dan Tombatu. Sedangkan etnis Bolaang Mongondow terdiri dari 4 sub-etnis, yaitu: Mongondow, Bintauna, Bolaang Uki (Bolango) dan Kaidipang. Setelah diteliti masih ada 2 sub-etnis kecil di Bolaang Mongondow yaitu : Lolak dan Bantik Sumoit. Sub-etnis Kaidipang Besar merupakan gabungan antara dua bekas kerajaan yaitu Kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang. Setelah raja Ram Suit Pontoh diangkat menjadi raja Kaidipang oleh Residen Manado pada tahun 1912, maka kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang di satukan menjadi satu kerajaan yaitu : Kaidipang Besar. Setiap etnis di Sulawesi Utara memiliki kebudayaan sendiri. Namun dari kebudayaan itu terdapat banyak persamaan, sabagai bukti bahwa etnis-etnis itu berasal dari satu leluhur pada masa purba/masa prasejarah. Berapa persamaan yang terdapat pada ketiga etnis itu antara lain bentuk rumah adat. Pada umumnya adat di Sulawesi Utara dibangun diatas atas balok berupa rumah panggung. Terbuat dari pada papan (lantai, dinding, plafon). Didepan di pasang dua buah tanggah pada kiri dan kanan serambi, dibelakang dipasang satu buah tangga. Ventasali diatas pintu dan jendela diukir dengan motif burung atau hewan lain dan motif daun. Atapnya dari daun rumbia yang kemudian diganti dengan seng. Bentuk atap bersusun dua. Contoh rumah adat Sulawesi Utara terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (rumah Sulawesi Utara).
 

Pakaian adat juga ada persamaan. Kaum Wanita mamakai kebaya dan kain sarung, memakai selendang. Rambut di sanggul, bentuknya sesuai keinginan pemiliknya. Kaum pria memakain baju baniang dan celana, mamakai selempang, ada ikat kepala. Di sangir ikat kepala di sebut paporong, di Bolaang Mongondow ikat kepalanya disebut papodong. Dibidang kesenian pun banyak persamaan. Salah satu jenis alat tradisional yang di perbuat dari pada bambu satu ruas (masih ada buku pada dua ujungnya), dawainya dari kulit bambu itu tersendiri, di tengah tengah bambu dekat dawai dibuat lubang sebesar 3 x 3 cm dibunyikan dengan cara mengetuknya.  Alat musik tradisional tersebut di Sangir  namanya Salude, di Minahasa Kalembosan, di Bolaang Mongondow Tantabua’. Semacam tari perang yang ditarikan oleh pria dengan memegang pedang pada tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Di Sangir tari tersebut tari salo, di Minahasa tari cakalele, dan di Bolaang Mongondow disebut tari mosua. Dan masih banyak lagi terdapat persamaan kebudayaan pada ketiga etnis dimaksud.
"Sebagai informasi perlu disampaikan bahwa : Rumah adat Bolaang Mongondow yang diwujudkan dalam bentuk pavilyun Bolaang Mongondow di Taman Mini Indonesia Indah jakarta (samping bangunan rumah adat Sulawesi Utara), yang miniaturnya diminta oleh almarhum Alex Wetik dan dibawa ke Manado tahun 1972 dan kemudian menjadi contoh pembangunan rumah adat Bolaang Mongondow di TMII Jakarta. Umumnya rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah berubah. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan sekarang ini, banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental spiritual, masih tetap dipelihara dan dilestarikan".
(dikutip dari: Seri Kebudayaan Bolaang-Mongondow. tanpa nama pengarang dan tahun).


C. BOLAANG MONGONDOW SEBAGAI SALAH SATU ETNIS DI SULAWESI UTARA

      Bolaang Mongondow pada mulanya sebuah daerah (landschap zaman penduduk Belanda) yang berdiri sendiri memerintah sendriri dan masih daerah. Tertutup sampai  abad 19, hubungan dengan luar (asing) hanyalah waktu itu. Dengan masuknya pengaruh asing (belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administratif daerah ini termasuk Onder Afdeling Bolaang Mongondow yang terdiri dari : Kerajaan Bolaang Mongondow,  Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Bolaang Itang, dan Kerajaan Bolaang Uki. Ketika raja Sam Suit Pontoh diangkat oleh Residen Manado menjadi raja Kaidipang, maka ia menyatukan Kerajaan Kaidipang Bolang Itang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar.

Lahirnya Republik Indonesia serikat hasil Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada bulan Desember 1949, telah menimbulkan pertentengan antara pengatut unitarisme yang menginginkan bentuk negara kesatuan dan penganut faham federalisme yang menginginkan bentuk negara federal. Situasai ini mencapai puncaknya pada tahun 1950. Gejolah politik terjadi di daerah-daerah termaksud empat kerajaan di Bolaang Mongondow yang tergabung dalam pemerintahan raja-raja. Dewan raja-raja ini diketahui olaeh Heny Jusuf Manoppo raja Bolaang Mongondow dengan ibu kota Kotamobagu. Akhirnya raja dari empat kerajaan itu bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai raja. Maka pada bulan Mei 1950 wilayah Bolaang Mongondow dimasukan ke dalam Kabupaten Sulawesi Utara yang berpusat di Gorontalo.

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 24 tanggal 23 maret 1954 maka daerah Bolaang Mongondow menjadi daerah otonomi yang berhak mengatur dan mengrurus rumah tangga sendiri setingkat kabupaten. Tuntutan tentang perlunya kewenangan daerah unutk mengatur daerahnya sendiri telah mulai dipersiapkan terutama dalam pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999, Undang-undang Otonomi Daerah antara lain berisi pemberian otonomi luas bagi daerah kabupaten serta pemberian otonomi terbatas bagi Propinsi.  Bunyi dari pada Undang-undang tersebut telah memberi keluasan kepada daerah Kabupaten untuk mengembangkan berbagai potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat .

Bolaang Mongondow sebagai satu komunitas adat memiliki potensi sosial budaya yang dalam pelaksanaan dan penentuan arah pembangunan khususnya dalam pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah dapat digunakan sebagai kerangka acuan, dengan harapan agar pembangunan tidak mengabaikan budaya lokal atau adat-istiadat yang merupan ciri khas dari masyarakat adat di Bolaang Mongondow. Pengembangan kelembagaan masyarakat adat dapat diwujudkan dalam rangka menunjang pelaksanaan otonomi daerah dan pembangunan Bolaang Mogondow secara menyeluruh. Keberadaan Lembaga Adat dalan pemerintahan pada dasarnya hendak menjadi penunjang dalam tugas eksekutif dan legislatif.


D. PERANAN LEMBAGA ADAT DALAM KAITAN DENGAN OTONOMI DAERAH

   Lembaga adat adalah mitra kerja pemerintahan menyangkut pembinaan Kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa atau Kelurahan), serta berfungsi memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya daerah. Hukum adat , adat-istiadat dan kebiasaan yang masih berlaku dan hidup dalam masyarakat harus dipelihar dan dilestarikan. Adat-istiadat dan lembaga adat diakui keberadaannya dan dipergunakan dalam kehidupan oleh masyarakat luas yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah sebagai nilai-nilai dan ciri-ciri budaya serta kepribadian bangsa yang perlu dibudayakan. Nilai-nilai dan ciri-ciri/budaya dan kepribadian bangsa dimaksud merupakan faktor strategis dalam upaya mengisi dan membangun jiwa, wawasan dan semangat bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 

Adat-istiadat dan Lembaga adat di akui kemerdekaannya dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad lampau. Peran tokoh masyarakat adat sangat diperlukan membentuk pemerintahan untuk menyelesaikan berbagai masalah di desa. Melalui Lembaga adat, para tokoh informasi itu menyelesaikan berbagai perkara di desa dengan cara lebih mengutamakan perdamaian, sedangkan tokoh formal (pemerintahan) lebih mengarah pada menyelesaian sacara formal, sehingga akhirnya akan menimbulkan dua kubu yang saling bertentangan. Namun demikian peranan tokoh formal masih tetap mendapat tempat ditengah masyarakat selama apa yang dilakukannya bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, misalnya dalam dunia pendidikan, bidang pemerintahan dan bidang-bidang lain. Peran tokoh masyarakat adat sangat ditentukan oleh kedudukan seseorang. Karena secara realitas, tatanan budaya adat dalam bidang pemerintahan desa berbasis pada kultur setempat yang secara tanpa disadari mengarah pada perubahan sejalan dengan perkembangan teknologi. Hal ini mengakibatkan sering terjadi gejolak dalam masyarakat yang merasa tidak puas dengan peran tokoh masyarakat formal (pemerintah). Masyarakat lebih mengedepankan tokoh informal (toko adat) dalam desa. Dengan pelaksanaan otonomi daerah, peran tokoh masyarakat lebih mendapatkan tempat di hati rakyat kerana memiliki kekuatan arus bawah secara partisipatif.

 
Copyright © 2012. Lipu' Kobayagan - All Rights Reserved.
Proudly powered by Blogger