ADAT ISTIADAT BOLAANG MONGONDOW
DALAM KERANGKA OTONOMI
DAERAH
KINI DAN MENDATANG
Diambil Dari Makalah :BERNARD GINUPIT. ADAT ISTIADAT DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH KINI DAN MENDATANG. KOTAMOBAGU.12 DESEMBER 2005.
A. PENDAHULUAN
Bhineka Tunggal Ika yang berarti beraneka ragam tapi satu, adalah merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari sekian banyak suku bangsa dengan aneka ragam latar belakang kebudayaan, agama dan sejarah. Luasnya wilayah terdiri dari ribuan pulau (± 13.677 menurut statistik). Penduduknya terdiri dari banyak suku bangsa, memiliki lebih dari 300 dialek (bahasa daerah), serta budaya dan agama yang berbeda-beda pula. Keanekaragaman budaya ini telah diketahui semenjak adanya penelitian sosial budaya yang diadakan oleh para sarjana pada awal abad 19.
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 32 dinyatakan bahwa “Pemerintahan Memajukan Kebudayaan Nasional”. Yang dimaksud dengan kebudayaan nasional disini adalah : kebudayaan bangsa yang timbul sebagai buah usaha
budinya rakyat Indonesia seluruhnya, kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah diseluruh Indonesia. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Ada banyak pengertian tentang kebudayaan yang telah didefinisikan oleh para ahli, cendekiawan dan kebudayawan yang sempat kami petik dari beberapa sumber, antara lain:
- Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia belajar (Rumusan denifinisi tentang kebudayaan oleh Koentjaranigrat 1979, hal. 193).
- Kebudayaan adalah suatu sistem yang menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian pada ujaran, laku ritual dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan yang lain (Harsja W. Bachtiar 1985).
- Kebudayaan ialah kompleks kesuruhan yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan manusia sebagai anggota masyarakat (Edward Burnnet Taylor : Battle 1969).
- Kebudayaan ialah hasil buah budi manusia dalam perjuangannya menaklukan alam dan zaman (Ki Hajar Dewantoro : Sayuti 1974)
- Kebudayaan pada hakekatnya adalah sistem nilai dan ide yang dihayati oleh kelompok manusia pada suatu lingkungan hidup tertentu dan pada suatu kurun waktu tertentu (Daud Joesoef 1982) .
- Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta : Bhudayah, yaitu bentuk jamak dari kata budi atau akal. Dengan demikian maka kebudayaan dapat diartikan “Hal-hal yang bersangkutan dengan akal” . (Koentjaraningrat 1986).
Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia merupakan buah ”Pergumulan Kreatif” dari penduduk setempat dan telah menjadi warisan untuk genarasi sekarang. Oleh sebab itu, warisan yang berwujud sebagai aturan, adat-istiadat, sistem nilai, dianggap sebagai memiliki makna yang amat penting untuk mengatur diri dalam segalah aspek kehidupan untuk mewujudkan tatanan hidup yang beradab dan berbudaya. Akar tatanan hidup masa lampau masih di pertahankan hingga kini, walaupun harus diakui bahwa sebagian dari padanya telah dan sedang berubah. Kemajuan teknologi yang merupakan hasil pergumbulan kreatif manusia yang tiada henti, membuka kemungkinan akan adanya bagian-bagian budaya yang mengalami perubahan.
B. MENGENAL BEBERAPA KOMUNITAS DI SULAWESI UTARA
Propinsi Sulawsi Utara terletak dijazirah utara pulau Sulewesi. Penduduknya tertdiri dari tiga etnis (suku bangsa), yaitu : Sangir talaud, Minahasa dan Bolaang Mongondow. Ketiga etnis tersebut masih terdiri dari beberapa sub-entis. Setiap sub-etnis dapat dikategorikan sabagai satu komunitas. Pengertian komunitas disini adalah : suatu wilayah yang mayoritas penduduknya berasal daru asal-usul leluhur yang sama, memilki ciri-ciri budaya dan adat-istiadat secara turun-temurun dan pada umumnya memilki bahasa yang sama, yang berbeda dengan bahasa komunitas yang berdekatan. Kesatuan wilayah, Kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas dan loyalitas terhadap komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas. Masyarakat adat suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.
Menurut catatan bapak Z. A. Lantong, Sekretaris Aliansi Masyarakat Bolaang mongondow yang pernah mengikuti Kongres Masyarakat adat se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 12 hinga 19 maret 1999, bahwa etnis Sangir Talaud terdiri dari 5 sub-etnis besar yaitu : Tagulandang, Siau, Sangihe, Biaro dan Talaud. Etnis Minahasa terdiri dari 8 sub-etnis, yang disebut pakasaan, yaitu : Tombulu, Tonsea, Tountemboan, Bantik, Pasan, Ponosakan, Toundano dan Tombatu. Sedangkan etnis Bolaang Mongondow terdiri dari 4 sub-etnis, yaitu: Mongondow, Bintauna, Bolaang Uki (Bolango) dan Kaidipang. Setelah diteliti masih ada 2 sub-etnis kecil di Bolaang Mongondow yaitu : Lolak dan Bantik Sumoit. Sub-etnis Kaidipang Besar merupakan gabungan antara dua bekas kerajaan yaitu Kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang. Setelah raja Ram Suit Pontoh diangkat menjadi raja Kaidipang oleh Residen Manado pada tahun 1912, maka kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang di satukan menjadi satu kerajaan yaitu : Kaidipang Besar. Setiap etnis di Sulawesi Utara memiliki kebudayaan sendiri. Namun dari kebudayaan itu terdapat banyak persamaan, sabagai bukti bahwa etnis-etnis itu berasal dari satu leluhur pada masa purba/masa prasejarah. Berapa persamaan yang terdapat pada ketiga etnis itu antara lain bentuk rumah adat. Pada umumnya adat di Sulawesi Utara dibangun diatas atas balok berupa rumah panggung. Terbuat dari pada papan (lantai, dinding, plafon). Didepan di pasang dua buah tanggah pada kiri dan kanan serambi, dibelakang dipasang satu buah tangga. Ventasali diatas pintu dan jendela diukir dengan motif burung atau hewan lain dan motif daun. Atapnya dari daun rumbia yang kemudian diganti dengan seng. Bentuk atap bersusun dua. Contoh rumah adat Sulawesi Utara terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (rumah Sulawesi Utara).
Pakaian adat juga ada persamaan. Kaum Wanita mamakai kebaya dan kain sarung, memakai selendang. Rambut di sanggul, bentuknya sesuai keinginan pemiliknya. Kaum pria memakain baju baniang dan celana, mamakai selempang, ada ikat kepala. Di sangir ikat kepala di sebut paporong, di Bolaang Mongondow ikat kepalanya disebut papodong. Dibidang kesenian pun banyak persamaan. Salah satu jenis alat tradisional yang di perbuat dari pada bambu satu ruas (masih ada buku pada dua ujungnya), dawainya dari kulit bambu itu tersendiri, di tengah tengah bambu dekat dawai dibuat lubang sebesar 3 x 3 cm dibunyikan dengan cara mengetuknya. Alat musik tradisional tersebut di Sangir namanya Salude, di Minahasa Kalembosan, di Bolaang Mongondow Tantabua’. Semacam tari perang yang ditarikan oleh pria dengan memegang pedang pada tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Di Sangir tari tersebut tari salo, di Minahasa tari cakalele, dan di Bolaang Mongondow disebut tari mosua. Dan masih banyak lagi terdapat persamaan kebudayaan pada ketiga etnis dimaksud.
Propinsi Sulawsi Utara terletak dijazirah utara pulau Sulewesi. Penduduknya tertdiri dari tiga etnis (suku bangsa), yaitu : Sangir talaud, Minahasa dan Bolaang Mongondow. Ketiga etnis tersebut masih terdiri dari beberapa sub-entis. Setiap sub-etnis dapat dikategorikan sabagai satu komunitas. Pengertian komunitas disini adalah : suatu wilayah yang mayoritas penduduknya berasal daru asal-usul leluhur yang sama, memilki ciri-ciri budaya dan adat-istiadat secara turun-temurun dan pada umumnya memilki bahasa yang sama, yang berbeda dengan bahasa komunitas yang berdekatan. Kesatuan wilayah, Kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas dan loyalitas terhadap komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas. Masyarakat adat suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.
Menurut catatan bapak Z. A. Lantong, Sekretaris Aliansi Masyarakat Bolaang mongondow yang pernah mengikuti Kongres Masyarakat adat se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 12 hinga 19 maret 1999, bahwa etnis Sangir Talaud terdiri dari 5 sub-etnis besar yaitu : Tagulandang, Siau, Sangihe, Biaro dan Talaud. Etnis Minahasa terdiri dari 8 sub-etnis, yang disebut pakasaan, yaitu : Tombulu, Tonsea, Tountemboan, Bantik, Pasan, Ponosakan, Toundano dan Tombatu. Sedangkan etnis Bolaang Mongondow terdiri dari 4 sub-etnis, yaitu: Mongondow, Bintauna, Bolaang Uki (Bolango) dan Kaidipang. Setelah diteliti masih ada 2 sub-etnis kecil di Bolaang Mongondow yaitu : Lolak dan Bantik Sumoit. Sub-etnis Kaidipang Besar merupakan gabungan antara dua bekas kerajaan yaitu Kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang. Setelah raja Ram Suit Pontoh diangkat menjadi raja Kaidipang oleh Residen Manado pada tahun 1912, maka kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang di satukan menjadi satu kerajaan yaitu : Kaidipang Besar. Setiap etnis di Sulawesi Utara memiliki kebudayaan sendiri. Namun dari kebudayaan itu terdapat banyak persamaan, sabagai bukti bahwa etnis-etnis itu berasal dari satu leluhur pada masa purba/masa prasejarah. Berapa persamaan yang terdapat pada ketiga etnis itu antara lain bentuk rumah adat. Pada umumnya adat di Sulawesi Utara dibangun diatas atas balok berupa rumah panggung. Terbuat dari pada papan (lantai, dinding, plafon). Didepan di pasang dua buah tanggah pada kiri dan kanan serambi, dibelakang dipasang satu buah tangga. Ventasali diatas pintu dan jendela diukir dengan motif burung atau hewan lain dan motif daun. Atapnya dari daun rumbia yang kemudian diganti dengan seng. Bentuk atap bersusun dua. Contoh rumah adat Sulawesi Utara terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (rumah Sulawesi Utara).
Pakaian adat juga ada persamaan. Kaum Wanita mamakai kebaya dan kain sarung, memakai selendang. Rambut di sanggul, bentuknya sesuai keinginan pemiliknya. Kaum pria memakain baju baniang dan celana, mamakai selempang, ada ikat kepala. Di sangir ikat kepala di sebut paporong, di Bolaang Mongondow ikat kepalanya disebut papodong. Dibidang kesenian pun banyak persamaan. Salah satu jenis alat tradisional yang di perbuat dari pada bambu satu ruas (masih ada buku pada dua ujungnya), dawainya dari kulit bambu itu tersendiri, di tengah tengah bambu dekat dawai dibuat lubang sebesar 3 x 3 cm dibunyikan dengan cara mengetuknya. Alat musik tradisional tersebut di Sangir namanya Salude, di Minahasa Kalembosan, di Bolaang Mongondow Tantabua’. Semacam tari perang yang ditarikan oleh pria dengan memegang pedang pada tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Di Sangir tari tersebut tari salo, di Minahasa tari cakalele, dan di Bolaang Mongondow disebut tari mosua. Dan masih banyak lagi terdapat persamaan kebudayaan pada ketiga etnis dimaksud.
"Sebagai informasi perlu disampaikan bahwa : Rumah adat Bolaang Mongondow yang diwujudkan dalam bentuk pavilyun Bolaang Mongondow di Taman Mini Indonesia Indah jakarta (samping bangunan rumah adat Sulawesi Utara), yang miniaturnya diminta oleh almarhum Alex Wetik dan dibawa ke Manado tahun 1972 dan kemudian menjadi contoh pembangunan rumah adat Bolaang Mongondow di TMII Jakarta. Umumnya rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah berubah. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan sekarang ini, banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental spiritual, masih tetap dipelihara dan dilestarikan".
(dikutip dari: Seri Kebudayaan Bolaang-Mongondow. tanpa nama pengarang dan tahun).
C. BOLAANG MONGONDOW SEBAGAI SALAH SATU ETNIS DI
SULAWESI UTARA
Bolaang Mongondow pada mulanya sebuah daerah (landschap zaman penduduk Belanda) yang berdiri sendiri memerintah sendriri dan masih daerah. Tertutup sampai abad 19, hubungan dengan luar (asing) hanyalah waktu itu. Dengan masuknya pengaruh asing (belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administratif daerah ini termasuk Onder Afdeling Bolaang Mongondow yang terdiri dari : Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Bolaang Itang, dan Kerajaan Bolaang Uki. Ketika raja Sam Suit Pontoh diangkat oleh Residen Manado menjadi raja Kaidipang, maka ia menyatukan Kerajaan Kaidipang Bolang Itang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar.
Lahirnya Republik Indonesia serikat hasil Konferensi
Meja Bundar di Denhaag pada bulan Desember 1949, telah menimbulkan
pertentengan antara pengatut unitarisme yang menginginkan bentuk
negara kesatuan dan penganut faham federalisme yang menginginkan
bentuk negara federal. Situasai ini mencapai puncaknya pada tahun
1950. Gejolah politik terjadi di daerah-daerah termaksud empat
kerajaan di Bolaang Mongondow yang tergabung dalam pemerintahan
raja-raja. Dewan raja-raja ini diketahui olaeh Heny Jusuf Manoppo
raja Bolaang Mongondow dengan ibu kota Kotamobagu. Akhirnya raja dari
empat kerajaan itu bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebagai
raja. Maka pada bulan Mei 1950 wilayah Bolaang Mongondow dimasukan ke
dalam Kabupaten Sulawesi Utara yang berpusat di Gorontalo.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 24
tanggal 23 maret 1954 maka daerah Bolaang Mongondow menjadi daerah
otonomi yang berhak mengatur dan mengrurus rumah tangga sendiri
setingkat kabupaten. Tuntutan tentang perlunya kewenangan daerah
unutk mengatur daerahnya sendiri telah mulai dipersiapkan terutama
dalam pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999,
Undang-undang Otonomi Daerah antara lain berisi pemberian otonomi
luas bagi daerah kabupaten serta pemberian otonomi terbatas bagi
Propinsi. Bunyi dari pada Undang-undang tersebut telah memberi
keluasan kepada daerah Kabupaten untuk mengembangkan berbagai potensi
sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat .
Bolaang Mongondow sebagai satu komunitas adat
memiliki potensi sosial budaya yang dalam pelaksanaan dan penentuan
arah pembangunan khususnya dalam pelaksanaan Undang-Undang Otonomi
Daerah dapat digunakan sebagai kerangka acuan, dengan harapan agar
pembangunan tidak mengabaikan budaya lokal atau adat-istiadat yang
merupan ciri khas dari masyarakat adat di Bolaang Mongondow.
Pengembangan kelembagaan masyarakat adat dapat diwujudkan dalam
rangka menunjang pelaksanaan otonomi daerah dan pembangunan Bolaang
Mogondow secara menyeluruh. Keberadaan Lembaga Adat dalan
pemerintahan pada dasarnya hendak menjadi penunjang dalam tugas
eksekutif dan legislatif.
Lembaga adat adalah mitra kerja pemerintahan
menyangkut pembinaan Kemasyarakatan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa atau Kelurahan),
serta berfungsi memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya
daerah. Hukum adat , adat-istiadat dan kebiasaan yang masih berlaku
dan hidup dalam masyarakat harus dipelihar dan dilestarikan.
Adat-istiadat dan lembaga adat diakui keberadaannya dan dipergunakan
dalam kehidupan oleh masyarakat luas yang tumbuh dan berkembang di
daerah-daerah sebagai nilai-nilai dan ciri-ciri budaya serta
kepribadian bangsa yang perlu dibudayakan. Nilai-nilai dan
ciri-ciri/budaya dan kepribadian bangsa dimaksud merupakan faktor
strategis dalam upaya mengisi dan membangun jiwa, wawasan dan
semangat bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai
luhur Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Adat-istiadat dan Lembaga adat di akui
kemerdekaannya dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad lampau.
Peran tokoh masyarakat adat sangat diperlukan membentuk pemerintahan
untuk menyelesaikan berbagai masalah di desa. Melalui Lembaga adat,
para tokoh informasi itu menyelesaikan berbagai perkara di desa
dengan cara lebih mengutamakan perdamaian, sedangkan tokoh formal
(pemerintahan) lebih mengarah pada menyelesaian sacara formal,
sehingga akhirnya akan menimbulkan dua kubu yang saling bertentangan.
Namun demikian peranan tokoh formal masih tetap mendapat tempat
ditengah masyarakat selama apa yang dilakukannya bermanfaat bagi
kesejahteraan masyarakat, misalnya dalam dunia pendidikan, bidang
pemerintahan dan bidang-bidang lain. Peran tokoh masyarakat adat
sangat ditentukan oleh kedudukan seseorang. Karena secara realitas,
tatanan budaya adat dalam bidang pemerintahan desa berbasis pada
kultur setempat yang secara tanpa disadari mengarah pada perubahan
sejalan dengan perkembangan teknologi. Hal ini mengakibatkan sering
terjadi gejolak dalam masyarakat yang merasa tidak puas dengan peran
tokoh masyarakat formal (pemerintah). Masyarakat lebih mengedepankan
tokoh informal (toko adat) dalam desa. Dengan pelaksanaan otonomi
daerah, peran tokoh masyarakat lebih mendapatkan tempat di hati
rakyat kerana memiliki kekuatan arus bawah secara partisipatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar